Pernikahan merupakan fase penting dalam perjalanan hidup yang diidamkan oleh kebanyakan orang, baik itu pria maupun wanita. Sebagai sebuah norma turun-temurun, pernikahan telah menjadi bagian dari kebudayaan manusia sejak zaman dahulu. Khususnya di Indonesia, menurut nicewedding.id pernikahan diartikan sebagai sebuah janji suci antara pasangan pria dan wanita.
Dalam konteks bahasa, istilah “nikah” berasal dari kata Arab “al-dhammu” yang berarti “bersatu”. Sementara menurut terminologi fikih, “nikah” merujuk pada perjanjian yang mengizinkan hubungan suami-istri dengan menggunakan lafaz “nikah” atau sejenisnya. Artinya, pernikahan merupakan landasan hukum yang melegalkan hubungan antara pasangan pria dan wanita.
Berdasarkan definisi tersebut, dapat dipahami bahwa pernikahan adalah proses penyatuan dua individu (pria dan wanita) melalui perjanjian yang menjadi dasar sahnya hubungan mereka. Menurut mazhab Syafi’i, menikah pada dasarnya adalah sunnah atau anjuran.
Referensi terhadap anjuran menikah juga banyak terdapat dalam Al-Quran. Salah satunya dapat ditemukan pada ayat QS. An-Nur [24] ayat 32, di mana Allah memerintahkan agar manusia menikah. Menurut Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir Al-Quran Al-Azhim (6:51), ayat ini berisi perintah untuk menikah, yang menurut sebagian ulama dianggap sebagai kewajiban bagi mereka yang mampu melakukannya. Pandangan ini didasarkan pada hadis nabi Muhammad saw yang menyerukan kepada pemuda agar segera menikah jika mereka sudah mampu.
Namun, menurut mayoritas ulama, perintah menikah pada ayat QS. An-Nur [24] ayat 32 tidak diartikan sebagai kewajiban, melainkan sebagai sunnah atau anjuran. Hal ini juga ditegaskan oleh Imam asy-Syafi’i dalam pandangan terbarunya (qaul jadid), bahwa perintah menikah dalam Al-Quran hanyalah anjuran, bukan kewajiban (Tafsir Al-Quran Al-Azhim (6:52)).
Hukum Menikah Berdasarkan Syariat
Berdsarkan syariat agama Islam, seorang muslim dianjurkan untuk menikah, karena menikah termasuk dalam sunnah Rasul, dan Rasulullah SAQ bersabda :
النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِي فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
Artinya: “Menikah itu bagian dari sunnah ku, maka siapa yang tidak beramal dengan sunnah ku, maka bukanlah dari golonganku.” (HR Ibnu Majah)
Di dalam Al-Quran Allah juga menjelaskan tentang pernikahan yang tercantum di dalam QS Surat Ar-Rum ayat 21:
وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
Artinya adalah : Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.
Hukum Menikah Tergantung Keadaan dan Niat Pelaku
Pernikahan, sebuah janji suci antara dua insan yang dilandasi oleh cinta dan niat baik. Namun, di balik itu semua, ada hukum-hukum yang harus ditaati dan dipahami dengan baik. Hukum menikah sendiri terbagi ke dalam lima macam yang berbeda, tergantung pada keadaan dan niat pelaku.
1. Wajib menikah
Pertama-tama, hukum wajib menikah, sebuah kewajiban bagi mereka yang telah memiliki kemampuan dan keinginan yang kuat untuk menikah demi menjaga gairah seksualnya agar tidak melenceng pada kemaksiatan. Orang yang sudah memiliki kemampuan nafkah, termasuk mahar, sandang, pangan dan papan, tidak dapat lagi menunda untuk menikah.
2. Sunah menikah
Kedua, hukum sunah menikah, sebuah anjuran bagi mereka yang memiliki kemampuan dan keinginan untuk menikah, namun tidak sampai pada taraf yang merugikan. Bagi mereka yang berada pada posisi ini, maka segera menikah merupakan hal yang disunahkan.
3. Lebih baik ditinggalkan
Ketiga, hukum lebih baik ditinggalkan, sebuah keputusan yang bijaksana bagi mereka yang memiliki keinginan untuk menikah namun tidak memiliki kemampuan untuk menafkahi. Sebaiknya menunda keinginan menikah hingga ia mampu, dan mengurangi gairah seksualitas dengan berpuasa atau berolahraga secara rutin.
4. Makruh menikah
Keempat, hukum makruh menikah, sebuah keputusan yang kurang diinginkan bagi mereka yang tidak memiliki keinginan untuk menikah, ataupun karena penyakit yang dimilikinya. Jika dipaksakan menikah, maka akan berdampak negatif terhadap pasangannya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
5. Haram menikah
Kelima, hukum haram menikah, sebuah keputusan yang diharamkan bagi mereka yang menikah dengan tujuan menyakiti pasangannya atau melanggar ketentuan agama. Maka, sangat penting untuk memiliki niat yang baik dan tulus saat memutuskan untuk menikah.
Pada akhirnya, hukum menikah bergantung pada keadaan dan niat pelaku. Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk memahami dan meninjau keadaan serta niatnya sebelum memutuskan untuk menikah. Orang tua juga memiliki peran penting dalam memperhatikan situasi dan kondisi anak-anaknya yang hendak menikah, apakah sudah memenuhi syarat atau belum. Dalam menjalani pernikahan, yang terpenting adalah menjalankan hak dan kewajiban dengan baik sehingga tercipta keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Penjelasan Tentang Hukum Nikah
Semua makhluk di seluruh alam semesta, termasuk manusia, telah diciptakan dengan fitrahnya yang berpasangan. Islam menghadirkan solusi yang paling tepat bagi sepasang manusia dengan mengatur pernikahan melalui syariatnya. Bagaimana sebenarnya hukum menikah dalam Islam?
Cerita dari sahabat Anas bin Malik RA mengisahkan tentang tiga orang sahabat yang mengunjungi istri-istri Nabi Muhammad SAW untuk bertanya tentang ibadah Nabi Muhammad SAW. Setelah diberitahu betapa dahsyatnya ibadah Nabi Muhammad SAW, para sahabat merasa rendah diri dan berkata, “Ibadah kita tak ada apa-apanya dibanding Rasulullah SAW, bukankah beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan juga yang akan datang?”
Salah satu dari mereka kemudian mengatakan, “Aku akan melaksanakan shalat malam selama-lamanya.” Kemudian yang lain berkata, “Kalau aku, sungguh akan berpuasa Dahr (setahun penuh) dan aku tidak akan berbuka.” Sedangkan yang lain lagi berkata, “Aku akan menjauhi perempuan dan tidak akan menikah selama-lamanya.”
Tak lama setelah itu, Rasulullah SAW dantang dan mendengar perkataan mereka, kemudian Nabi SAW bersabda:
أَنْتُمْ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
Kalian berkata (akan) begini dan begitu. Adapun aku, demi Allah, adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian, dan juga yang paling bertakwa. Namun aku berpuasa dan juga berbuka, aku salat dan juga tidur, aku pun menikahi perempuan. Siapa saja yang membenci sunnahku, maka ia bukanlah dari golonganku. (HR Bukhari, Muslim, dan Nasa’i).
Meskipun para sahabat tersebut berniat baik dalam mengejar keutamaan dan kesempurnaan dalam ibadah, namun Nabi Muhammad SAW meluruskan niat mereka dengan mengatakan bahwa ia sendiri melaksanakan ibadah dan menikah pula. Oleh karena itu, menikah dalam Islam adalah sunnah Nabi Muhammad SAW dan diharapkan bagi umatnya untuk melakukannya. Menikah dapat memperbaiki diri dan menenangkan hati sehingga dapat lebih fokus dalam ibadah. Bagi yang tidak mampu menikah, diharapkan untuk tetap menjaga diri dan menjauhi perbuatan yang dapat membahayakan diri dan orang lain.
Dalam kitab Fath al-Bari, Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan bahwa dalam hadis tersebut, istilah “sunnah” merujuk pada thariqah, yaitu cara hidup, dan bukan merujuk pada sunnah yang merupakan lawan kata dari fardhu atau kewajiban. Oleh karena itu, menurut Ibnu Hajar, makna dari ucapan Nabi SAW dalam hadis tersebut adalah:
من ترك طريقتي وأخذ بطريقة غيري فليس مني
Siapa yang membenci jalan hidupku, dan memilih jalan lain, maka ia bukan bagian dari umatku”. (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, juz 9, hal. 105)